Kisah Haru dan Penuh Perjuangan, di Balik Penetapan Nyambei Sastra Lisan Khas Rejang Lebong Menjadi WBTB

Daftar Isi

 

Kisah Haru dan Penuh Perjuangan, di Balik Penetapan Nyambei Sastra Lisan Khas Rejang Lebong Menjadi WBTB
Wimmy Hartawan

KABUK.ID - Kabar membanggakan datang dari Bumi Pat Petulai. Salah satu warisan sastra lisan khas Rejang Lebong, ‘Nyambei’, resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.

Penetapan ini diumumkan melalui sidang penetapan WBTB yang berlangsung pada 5–11 Oktober 2025 di Jakarta.

Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda, bermula pada akhir tahun 2023, saat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Rejang Lebong mulai menyusun berkas usulan WBTB. 

Wimmy Hartawan, yang kala itu menjadi ketua tim penyusun, menceritakan bagaimana proses itu berjalan di tengah segala keterbatasan.

“Awalnya ada tujuh unsur budaya yang kami rancang untuk diajukan,” kata Wimmy.

“Tapi karena ada sedikit kendala dan kesibukan jelang peringatan HUT Curup, penyusunannya sempat tertunda. Padahal tinggal sedikit lagi selesai,” cerita Wimmy.

Kendala itu bukan hanya soal waktu. Ada juga perubahan formasi di dinas, dan keterbatasan anggaran yang membuat proses hampir berhenti.

Namun di tengah situasi itu, lanjut Wimmy, muncul inisiatif dari Rizal Fahlepi, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Rejang Lebong, yang memutuskan untuk melanjutkan perjuangan secara swadaya.

Wimmy masih ingat betul, kalau Rizal Fahlepi harus meminjam uang di koperasi, untuk menutupi keperluan dan biaya operasial persialan usulan Nyambei menjadi WBTB.

“Kami pikir, sayang kalau semua kerja keras itu dibiarkan. Akhirnya kami lanjutkan dengan biaya seadanya. Dari tujuh yang disiapkan, kami pilih satu yang paling siap, Nyambei,” tutur Wimmy.

Pilihan itu bukan tanpa alasan. Dari semua usulan, hanya Nyambei yang memiliki narasi paling kuat dan data paling lengkap, baik primer maupun sekunder. 

Dengan segala keterbatasan, tim kecil itu akhirnya berhasil menuntaskan satu berkas dan mengirimkannya ke Balai Pelestarian Budaya Wilayah VII Bengkulu.

“Kami kerja terus dengan segala kemampuan yang ada. Dana tidak banyak, tapi semangatnya besar,” ujar Wimmy sambil tersenyum.

Kisah Haru dan Penuh Perjuangan, di Balik Penetapan Nyambei Sastra Lisan Khas Rejang Lebong Menjadi WBTB
Rizal Fahlepi (kanan) dan M. Baksir

Dan hasilnya? Luar biasa. Nyambei menjadi salah satu usulan yang paling solid. Bahkan, dalam sidang penetapan yang berlangsung awal Oktober 2025, tidak ada perlawanan atau pertanyaan berat dari Dewan Panelis.

“Dari sekian banyak video dan dokumentasi yang kami tampilkan, Nyambei disebut sebagai masterpiece-nya Provinsi Bengkulu,” kata Wimmy bangga.

“Beberapa ahli budaya, guru besar, dan akademisi yang hadir benar-benar memberi perhatian khusus pada Nyambei,” terangnya.

Nyambei, Sastra Lisan dengan Napas Panjang

Bagi masyarakat Rejang, Nyambei bukan sekadar hiburan. Ia adalah bahasa hati, medium ekspresi, dan ruang sosial yang mempertemukan orang-orang muda.

Budayawan Rejang, M. Bakhsir, menyebut bahwa Nyambei sudah ada bahkan sebelum datangnya para biku ke Tanah Rejang. 

“Dulu Nyambei itu hiburan bujang gadis. Biasanya diadakan saat hajatan, ajang perkenalan. Bahasanya campur, ada pengaruh dari 40 suku, termasuk bahasa Jawa,” kisahnya. 

Dahulu, Nyambei menjadi kebanggaan. Seorang pemuda yang tidak bisa ber-nyambei akan dianggap kurang bergaul.

“Kalau tidak bisa nyambei, orang tidak akan memanggil,” tambahnya.

Lantunan Nyambei berisi puji-pujian, kisah cinta, dan sanjungan terhadap alam. Dalam prosesi adat, ia juga hadir dengan makna khusus. Misalnya dalam tari Kejei, di tengah musik yang berhenti sesaat, penari perempuan akan menunduk dan bersenandung lembut sambil menutup wajah dengan kipas, itulah Nyambei.

Bahkan, jejak Nyambei tercatat dalam sejarah dunia. Penulis dan penjelajah Inggris, William Marsden, menyebut tradisi serupa dalam bukunya The History of Sumatra yang terbit tahun 1785. Artinya, Nyambei telah dikenal lebih dari dua abad silam.

Harapan: Dari Satu, Menjadi Banyak

Setelah Nyambei resmi diakui, tim penyusun dan Dinas Kebudayaan tak ingin berhenti di sini. Menurut Wimmy, masih ada enam unsur budaya lain yang telah disiapkan sejak awal, termasuk dari Suku Lembak.

“Narasi dan bahan sebenarnya sudah siap. Kami hanya butuh sedikit dukungan untuk melengkapi dokumentasi, wawancara ulang, dan perbaikan berkas. Kami berharap tahun depan bisa mengusulkan semuanya,” jelasnya.

Ia menegaskan, bila pemerintah atau pihak terkait siap mendukung, timnya pun siap bekerja penuh.

“Kalau yang bisa dibiayai ada 20 pun, Insya Allah 20 akan kami kerjakan. Karena ini bukan sekadar dokumen, tapi jejak identitas kita,” ujarnya.

Wimmy juga berharap penetapan Nyambei ini bisa menjadi program prioritas pelestarian budaya daerah, baik melalui kegiatan sekolah, lomba, maupun dalam bentuk Peraturan Daerah.

“Kalau bisa, Nyambei dijadikan kurikulum lokal atau diwajibkan tampil dalam acara adat seperti Bekulo. Supaya generasi muda tahu dan bangga dengan warisan mereka sendiri,” harap Wimmy.

Dari perjuangan panjang dan kerja penuh keikhlasan itu, Nyambei kini tidak lagi hanya milik para tetua di dusun. Ia telah menembus batas, berdiri sejajar dengan warisan budaya besar lainnya di Indonesia.

Dan seperti lantunan yang dulu mengalun di malam sunyi Rejang, Nyambei kini bergaung lagi, lembut, hangat, dan abadi.***

Posting Komentar