Prof. Abdullah Siddik: Tokoh Intelektual dari Bengkulu yang Tidak Banyak Diketahui Generasi Muda
![]() |
| Profesor Dr. Abdullah Siddik, saat mendamping Presiden Ir. Soekarno |
KABUK.ID - Tepat 18 November 2022, Provinsi Bengkulu genap berusia 54 tahun. Usia yang, kalau diibaratkan manusia, sudah matang dan sarat pengalaman. Tapi di balik perayaan itu, sedikit yang tahu: tanah yang membesarkan bunga Rafflesia ini juga pernah melahirkan tokoh-tokoh besar, nama-nama yang ikut menorehkan sejarah bangsa — bukan hanya Ibu Fatmawati, tapi juga seorang intelektual besar bernama Prof. Dr. H. Abdullah Siddik, SH.
Nama itu mungkin asing di telinga generasi muda hari ini. Namun, nama Prof. Dr. H. Abdullah Siddik, SH sempat menjadi pembicaraan publik, karena beliau adalah kakek kandung artis terkenal, yakni Ashanty Anang Hermansyah.
Prof. Dr. H. Abdullah Siddik lahir di Muara Aman, 13 Juni 1913 — di masa ketika pendidikan masih menjadi kemewahan, dan semangat kebangsaan baru mulai tumbuh di dada anak-anak muda Hindia Belanda.
Masa Muda di Curup dan Jalan Menuju Jakarta
Abdullah kecil tumbuh di Curup, Rejang Lebong. Kota yang sejuk, diapit perbukitan, tempat ayahnya, H. Muhammad Saleh, dan ibunya, Mastifa, menanamkan nilai kejujuran dan kerja keras.
“Makam keduanya masih bisa dijumpai di TPU Talang Rimbo Baru,” tutur Gangsar Sambodo, cucu Prof. Abdullah Siddik.
Dari Curup, langkahnya menembus Batavia. Ia menempuh pendidikan tinggi hukum di Rechtshogeschool, sekolah hukum bergengsi pada masa kolonial.
Di sinilah jalan pikirannya ditempa, dan semangat kebangsaannya mekar. Tahun 1934, ia sudah aktif di organisasi kepemudaan Jong Islamieten Bond (JIB) bersama Haji Agus Salim. Beberapa tahun kemudian, ia ikut membidani lahirnya Studenten Islam Studie Club dan terpilih sebagai ketua.
Abdullah Siddik muda dikenal tajam berpikir, tapi lembut dalam tutur. Ia bukan hanya cerdas di ruang kuliah, tapi juga berani mengambil peran di masyarakat. Tahun 1939, ia mendirikan Persatuan Dagang Bumi Putera, sebuah langkah berani untuk memperkuat ekonomi rakyat di tengah dominasi kolonial.
Bersama Bung Karno dan Masa Revolusi
Pertemuan takdir mempertemukannya dengan Ir. Soekarno, yang saat itu diasingkan ke Bengkulu pada 1938. Abdullah Siddik menjadi salah satu sosok muda yang dekat dan sering mendampingi Bung Karno. Dari pertemuan demi pertemuan itu, tumbuh kepercayaan yang kelak membawanya jauh.
Tahun 1945, bersama Dr. A.K. Gani, ia mengambil alih pemerintahan di Bengkulu dari tangan Jepang. Abdullah Siddik memegang bagian hukum - bidang yang ia kuasai sepenuhnya. Lalu, setelah proklamasi, kariernya melesat: pengacara di Palembang, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan, bahkan Ketua Mahkamah Tentara dengan pangkat Kolonel.
Karena dedikasi dan integritasnya, Wakil Presiden Mohammad Hatta menunjuknya sebagai Wakil Gubernur Sumatera pada 1947. Tak berhenti di situ, tahun 1948, Soekarno memintanya menjadi Pemimpin Sekretariat Pusat di Bukittinggi.
Diplomat, Akademisi, dan Guru Bangsa
Tahun 1950-an, dunia mengenalnya sebagai diplomat ulung. Ia menjadi Wakil Duta Besar Indonesia untuk Mesir, kemudian Filipina, Thailand, dan Burma (Myanmar). Ia memimpin delegasi Indonesia dalam berbagai konferensi internasional, termasuk United Nations Economic Commission for Asia and the Far East (UNECAFE).
Namun, darah pendidiknya tak pernah surut. Tahun 1947, ia menjadi Rektor Akademi Pamongpraja dan Administrasi di Bukittinggi. Lalu tahun 1961, ia mendirikan dan menjadi Rektor pertama Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Ia juga pernah mengajar di IPB dan di University of Malaya, Kuala Lumpur.
Risetnya menembus batas negeri. Ia meneliti Islam di Mekkah, Madinah, dan Kanada, di Institute of Islamic Studies, McGill University. Dari sanalah lahir karya-karya monumental yang hingga kini masih dibaca dan dijadikan rujukan mahasiswa serta dosen di seluruh Nusantara.
Karya dan Warisan Intelektual
“Antara tahun 1967 hingga 1996, tercatat ada 13 buku yang beliau tulis,” kata Gangsar.
Salah satunya, Islamologi (1967), menjadi buku ajar resmi di berbagai universitas di Indonesia. Buku itu bahkan diterbitkan ulang di Malaysia dengan judul Inti Dasar Islam.
Selain itu, ada Hukum Adat Rejang (1980) dan Sejarah Bengkulu 1500–1990 (1996), dua karya yang mengabadikan kebudayaan tanah kelahirannya. Buku-buku itu menjadikan Abdullah Siddik bukan hanya intelektual nasional, tapi juga penjaga ingatan lokal Bengkulu.
Ia menulis tentang hukum, adat, hingga filsafat Islam. Ia berbicara tentang iman, ilmu, dan amal dalam tiga jilid buku yang lahir dari serial ceramahnya di Radio Televisi Malaysia. Di sana, suaranya menjadi guru bagi ribuan pendengar yang haus ilmu.
![]() |
| Salah satu buku karya Profesor Dr. Abdullah Siddik |
Darah Inggris, Jiwa Nusantara
Garis darahnya unik: dari ibunya, Mastifa, Abdullah Siddik mewarisi keturunan Edward Coles Sr, seorang Inggris Muslim yang dulu menjadi gubernur terakhir Benteng Marlborough, Bengkulu. Dari ayahnya, mengalir darah bangsawan Pagaruyung.
Perpaduan dua dunia, Barat dan Timur, itu mungkin menjelaskan keluasan pandangannya, rasional, tapi berakar kuat pada nilai-nilai adat dan Islam.
Kakek buyut Prof. Dr. H. Abdullah Siddik dari garis ibunya Mastipa, seorang berdarah Inggris beragama Islam bernama Edward Coles, Sr dikenal oleh kalangan penduduk asli Bengkulu sebagai "Master Badar".
Ia lahir di Bencoolen pada 23 Desember 1736 dan pernah menjabat sebagai gubernur terakhir Benteng Marlborough Bencoolen (Bengkulu), pada 14 Oktober 1781 hingga 28 Februari 1785.
Master Badar lalu menikah dengan seorang Putri Silebar, salah satu keturunan mantan penguasa Pangeran Ing Alaga Kerajaan Silebar.
Master Badar lalu melahirkan anak bernama Coles, Jr dengan nama muslimnya, Abdul Muthalib, juga menikah dengan salah satu putri Kerajaan Silebar dan dikenal di kalangan penduduk asli sebagai Tuan Skaut.
Istrinya, bernama Putri Jenina dari Kerajaan Silebar. Pernikahan Abdul Muthalib Putri Jenina dari Kerajaan Silebar ini melahirkan anak bernama Matnasir yang kemudian menikah dengan Sare'a.
Dari pernikahan mereka, kemudiah dikaruniai anak bernama Mastifa dan menikah dengan H. Muhammad Saleh yang merupakan orang tua kandung dari Prof. Dr. H. Abdullah Siddik.
Sedangkan leluhur Prof. Dr. H. Abdullah Siddik dari garis ayahnya, H. Muhammad Saleh, neneknya bernama Nelemat adalah keturunan dari Pagar Ruyung Pangeran Raja Chalippa, penguasa kerajaan kecil Duayu dekat Manna Bengkulu Selatan.
Prof. Dr. H. Abdullah Siddik menikah dengan Sutimah Siddik. Ibu Sutimah, yang bernama Juhariah adalah anak dari Lous de Buys, orang Prancis berkewarganegaraan Belanda, dikenal oleh penduduk asli sebagai "Pak Loewis, seorang Eurasia, beliau bekerja sebagai pejabat Departemen Kereta Api Pemerintah Jakarta.
Saat bertugas di Bogor Lous de Buys menikah dengan Sayamah dari Desa Jembatan Merah, Bogor. Sedangkan leluhur Sutimah Siddik dari pihak ayahnya, Mahadi adalah keturunan Pangeran Pagar Ruyung, Depati Cap gelar Depati Alam, penguasa kerajaan kecil Anak Gumai, desa Tanggo Raso, dekat Manna.
Beliau lahir di Desa Pino pada 21 September 1899. Dari pernikahannya, dengan Sutimah Siddik dikaruniai 9 orang anak. Salah satunya adalah Farida Siddik putrinya yang keempat dan menikah dengan Dr Soetjahjo Hasnoputro.
"Dari pernikahan itu lalu dikaruniai anak yakni Ashanty dan saya (Gangsar Sambodo), serta adik-adik saya lainnya," pungkas Gangsar.
Warisan yang Tak Lekang Zaman
Kini, nama Prof. Dr. H. Abdullah Siddik mulai disebut kembali. Banyak pihak mendorong agar tokoh asal Bengkulu ini diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebuah langkah yang pantas, mengingat peran besarnya dalam diplomasi, pendidikan, dan hukum di masa-masa awal Republik.
Ia adalah cermin bahwa dari Bengkulu, tanah yang tampak tenang dan jauh dari pusat kekuasaan, lahir para pemikir besar yang turut menyalakan pelita kemerdekaan.***


Posting Komentar